When citizens use alternative media, blogs and social media to critique the mainstream media, they are sometimes called the Fifth Estate: the watchdogs of the watchdogs.
Beberapa waktu lalu, gue iseng mengikuti sebuah online course dari UNESCO dan Athabasca University tentang media literacy. Ya walaupun hanya bertahan seminggu, setidaknya gue memperoleh suatu pemahaman yang membuka mata.
Dari materi online course tersebut, dikatakan kalau media mainstream itu bukan cuma bisnis, tapi bisa dibilang juga sebuah institusi politik. Kenapa? Karena peran media itu penting banget untuk memelihara pemerintahan yang baik.
Kalau belum ngerti, coba pake analogi begini. Institusi politik, seperti partai politik, misalnya, di pihak manapun mereka berada–oposisi atau koalisi–masing-masing punya peran untuk mempengaruhi kebijakan untuk negara. Media jelas perannya besar banget dalam mempengaruhi kebijakan.
Baca juga: Melawan Media Mainstream dengan Zine!
Misalnya aja, waktu ada wacana diberlakukannya RUU Pilkada, banyak media mainstream di Indonesia yang mati-matian ngejek-jelekin kebijakan yang dianggap penuh agenda ini. Rakyat pun–dari membaca, melihat, dan mendengar dari media, bisa ikut menjalankan fungsi kontrol–yang akhirnya bikin RUU Pilkada gak jadi diberlakukan.
Itu pertama. Kedua, secara literal, media juga bisa dikatakan sebagai institusi politik karena banyak media yang benar-benar dikuasai institusi politik. Ada media yang katanya punyanya partai X, lalu ada yang dukung calon presiden A. Ya, susah juga mau maksa media jadi netral, kalau setiap pemiliknya punya hidden agenda masing-masing (Ziliun sendiri juga gak netral kan?).
Berat banget deh ya, omongannya? Ya, intinya sih, walaupun mungkin orang-orang yang well-educated di Indonesia sebenarnya udah pada tahu kalau media mainstream kita gak bisa dipercaya, masih ada aja yang menangkap informasi tanpa coba berpikir kritis dulu. Oke mungkin lo berpendidikan, tapi gimana sama mereka yang bahkan gak tahu bahwa bisa lho, media itu dibentuk oleh agenda-agenda pribadi.
Media is a political institution. Coba ingat untuk lihat dari sudut pandang itu. Biar apa? Biar inget terus kalau lo harus berpikir kritis, dan gak cuma nelan bulet-bulet apa yang TV, radio, koran, dan majalah katakan.
Baca juga: Belajar Mendengar dengan Social Media
Nah, selain berusaha gak nelan bulet-bulet hal tersebut, ada lagi yang kita bisa lakukan.
Apa itu?
Menggunakan media alternatif untuk mengkritik media mainstream.
Media alternatif kayak blog dan jejaring sosial itu ada saat ini gak cuma buat pamer-pamer hedonisme, tapi bisa juga jadi alat kita untuk jadi watchdog-nya media mainstream.
Kalau kata online course gue itu, pemerintah kan punya tiga pilar: legislatif, eksekutif, yudikatif. Nah, media mainstream adalah pilarnya yang ke-4. Sementara, masyarakat yang menggunakan media alternatif bisa jadi pilar ke-5: the watchdogs of the watchdogs. Keren gila!
Jadi, mulai sekarang, jangan cuma ngatain media itu bego tapi gak melakukan apa-apa. Gue tahu lo pada males demo (ga berguna juga), tapi at least bisa kan dari kasur aja sambil tidur-tiduran, nge-tweet atau nge-path tentang apa yang lo rasa gak bener di negeri ini. Emang sih, gak ada yang baca, tapi setidaknya sedikit banyak bisa raise awareness di antara teman-teman atau followers lo.
Well, dengan satu catatan sih, pastiin opini atau asumsi lo didukung dengan evidence yang logis dan cukup. Jangan terus ikut-ikutan bego kayak (beberapa) media mainstream, ya!
Baca juga: Mengubah Dunia dengan Hashtag, Percaya?
Header image credit: newsfirst.lk
Comments 1