Dunia memang butuh lebih banyak perempuan yang membela hak-hak perempuan. Tapi yang lebih kita butuhkan adalah lebih banyak laki-laki yang melihat perempuan lebih dari sekadar perempuan, tapi sebagai manusia seutuhnya yang harus reach their best potential.
Sewaktu SD, saya selalu ranking 5 besar. Tidak pernah mengecewakan orang tua dari segi akademik. Sampai ketika saya masuk SMP, saya mulai nakal. Yang dulunya sekolah di SD swasta di mana semua teratur, di SMP negeri saya merasakan yang namanya kebebasan memilih. Tiap malam saya begadang main Friendster (social media nge-hits di zaman itu), lalu langsung tidur tanpa mengerjakan PR. Kalau saya tidak bikin PR, ya paling cuma disetrap, dan saya gak keberatan kok berdiri di depan kelas satu jam.
Terus seperti itu sampai prestasi saya anjlok ke peringkat 11. Memang gak buruk, tapi itu pertama kalinya saya tidak masuk ke jajaran 5 besar. Papa saya marah besar lalu menghukum saya tidak boleh keluar 2 minggu, yang berarti saya tidak kemana-mana selama liburan pergantian semester yang memang cuma 2 minggu itu.
Saya marah. Saya bilang ke Papa saya, “Kenapa Papa lebay banget, sih? Yang goblok dan nilainya lebih jelek dari aku tuh banyak banget!”
Lalu Papa saya menjawab, “Hidup itu bukan tentang membandingkan diri dengan orang lain. Hidup itu tentang reaching your best potential. Dan Papa tahu betul kamu jauh lebih bisa daripada hanya ranking 11.”
Saya menggerutu, saya stress, saya kesal karena selama 2 minggu saya harus menolak ajakan teman-teman saya makan dan nonton. Tapi, beberapa tahun kemudian, saya sadar, kalau jawaban Papa saya waktu itu adalah pelajaran pertama saya sebagai perempuan: don’t let other people define your standards.
Baca juga: April: Month of Female Leaders
***
Gara-gara didorong untuk jadi ambisius sejak kecil, saya sering punya mimpi yang tidak realistis. Waktu kelas 3 SMA, saya membaca pengumuman tentang beasiswa ke NYU Abu Dhabi. Waktu itu, New York University baru saja membuka program S1 di Uni Emirat Arab. Saya bilang ke Papa saya, “Aku mau daftar beasiswa ini”.
Semua orang juga tahu saya ga akan lolos. Saya cuma sekolah di SMA Negeri di kota kecil di Kalimantan. Yang namanya SAT, AP, IB, dan standardized test lain untuk aplikasi S1 ke universitas-universitas di Amerika itu mainannya anak-anak SMA internasional. Tapi, dengan naifnya saya bersikeras mau ikut.
Papa saya tidak pernah bilang tidak untuk pendidikan. Dia memberi saya uang untuk beli buku SAT, menemani saya ke Jakarta untuk ikut tes SAT di Jakarta International School (nilai SAT saya hanya 1700 by the way), lalu Mama saya juga membantu bolak-balik ke rumah satu-satunya certified translator di kota saya untuk menerjemahkan segala dokumen akademik saya ke bahasa Inggris.
Dan saya pun tidak lolos. Dan semua orang juga tahu saya tidak mungkin lolos. It’s fuckin NYU, man. Tapi Papa saya selalu mengangguk dan memberikan saya apa pun yang saya perlu hanya supaya saya bisa mencoba.
Baca juga: Kenapa Sih Pemimpin Perempuan Cuma Sedikit?
***
Saya pernah dikritik Papa saya karena tidak update dengan berita politik. Katanya, “Gimana sih, masa kuliah bisnis tapi gak tahu keadaan negara. Nonton TV-lah, atau langganan koran di kosan.”
Lalu saya bilang, “Aku kan perempuan, ya gak bisa se-update laki-laki yang tiap hari nongkrong ngomongin berita.”
Papa saya hanya diam. Dari raut mukanya, saya tahu begitu kecewa. Dan saya menyesal sudah memberikan pernyataan yang sama saja dengan merendahkan martabat perempuan.
Selama bertahun-tahun saya hidup, saya tahunya Papa saya simply ingin anak-anaknya berprestasi, sampai suatu saat Papa saya bilang, “Nama kamu itu Papa ambil dari Raisa Gorbachev, istrinya Mikhael Gorbachev, pemimpin Uni Soviet”.
Dan ternyata nama kedua adik saya, Rania dan Indira, diambil dari nama Queen Rania (Ratu Yordania) dan Indira Gandhi (Perdana Menteri India).
Papa saya sudah merencanakan anak-anak perempuannya untuk menjadi powerful, sejak kami lahir.
Baca juga: Cuma Cewek yang Boleh Baca Artikel Ini
***
Saya bukan feminis. Tapi Papa saya iya. Mungkin beliau tidak banyak tahu tentang perkembangan gerakan feminisme sejak dulu hingga sekarang. Papa saya simply percaya kalau anak-anaknya harus cerdas, berhasil, dan aim as high as possible, tidak peduli mereka perempuan atau laki-laki. Papa saya percaya kalau semua orang, baik laki-laki atau perempuan, harus reach their best potential. Bukan berarti kalau perempuan tidak perlu mengerti tentang hukum dan politik. Bukan berarti kalau perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Bukan berarti perempuan tidak boleh bermimpi.
Saya bukan feminis. Tapi Papa saya—entah beliau sadar atau tidak—adalah seorang feminis. Dunia memang butuh lebih banyak perempuan yang membela hak-hak perempuan. Tapi yang sebenarnya lebih kita butuhkan, adalah lebih banyak orang seperti Papa saya, laki-laki yang melihat perempuan lebih dari sekadar perempuan, tapi sebagai manusia seutuhnya.
Dunia butuh lebih banyak Papa yang memaksa anak perempuannya bermimpi.
Baca juga: Be Our Contributor This April!
Header image credit: huffpost.com