Dalam mencari jodoh, atau mencari pekerjaan atau passion yang pas, atau lo coba bikin startup sendiri, lo bebas jadi se-picky apapun. Don’t compromise, walaupun udah desperate banget. Play by your own rules, dan suatu saat lo bakal ketemu yang bener-bener cocok (mau itu jodoh, pekerjaan, atau bisnis).
Biasanya Ziliun selalu ngomong tentang gimana menciptakan dampak dan menyelesaikan masalah, kali ini coba kita kesampingkan sebentar itu semua lalu bicara tentang: relationship.
Ya, dengan tema “Into The Future”, sah-sah aja dong kalo kita ngomongin juga tentang the future of relationship. Ya gak? *cari pembenaran* *penulisnya baper*
Zaman dulu yang namanya relationship, masih banyak malu-malunya. Yang kirim-kiriman suratlah. Terus banyak yang dijodohinlah, dan awet-awet aja gitu. Dulu juga gak banyak pilihan aktivitas dating. Sekarang mah pada ABG labil bisa nge-date di mana aja: mal, bioskop, kafe, taman…
Sejak ada Internet, aktivitas dating ini menjadi semakin dinamis. Gimana gak? Pas baru kenal sama orang lo langsung bisa background check. Buka Twitter-nya, Facebook-nya, Instagram-nya (kalau sering liburan ke luar negeri berarti tajir), LinkedIn-nya (kalau banyak prestasi kemungkinan besar akan mapan). Ngaku gak, siapa yang background check gebetannya?
Baca juga: Doing What You Love Doesn’t Always Mean Doing What You Like
Gak cuma buat kepo, media sosial juga kerap menjadi tempat pertemuan mereka yang mencari cinta. Banyak kan cerita orang bisa sampe nikah gara-gara pertamanya kenalan di Facebook? Terus teknologi video call kayak Skype juga membuat LDR menjadi lebih mudah :P.
Di sisi lain, teknologi somehow bikin relationship jadi lebih kompleks. Misalnya gebetan/pacar lo belum bales chat tapi udah nge-Path. Langsung baper. Terus misalnya pacar si A mention si B. Si A cemburuan. Berantem. Marah-marah di Facebook dan Twitter, ‘Gue nyesel udah sayang sama lo!’ atau ‘Dasar cewek gatel! Ganggu hubungan orang!’. Belum lagi yang masih ngecekin update status mantan. Lo pada jangan kayak gini ya, please.
Teknologi yang ada juga taking dating to the next level. Contoh paling nyata, ya Tinder. Hot or not, swap kanan, swap kiri. Kesuksesan dating di Tinder tergantung muke sih ye, atau tergantung kemampuan memanipulasi profile picture jadi kece.
Emang bisa gitu compatibility ditentukan dari sekadar ngelihat foto profil? Biasa ada yang cakep, gak photogenic aja (kayak gue). Terus ada yang jelek, tapi pake Camera 360 aja jadi lumayan.
Baca juga: The Downsides of Being a Progressive Women
Di mana ada usaha algoritma, di situ ada jalan.
Dari semua fenomena menggelitik ini, gue kemudian nemu video TedX yang sangat keren, yaitu dari Amy Webb tentang How I Hacked Online Dating.
Jadi ceritanya, si Amy ini umurnya udah 30 dan dia udah mulai desperate cari jodoh. Amy pun mulai nyobain situs-situs online dating. Kayak media sosial aja, lo harus pasang foto dan nulis deskripsi tentang diri lo, yang nantinya bakal jadi basis untuk menarik potential mate.
Awalnya, online dating ini gak membuahkan hasil, dan malah bikin Amy terjebak ke dalam kencan-kencan yang gagal. Malah sampe ada cowok yang udah pesen makanan banyak banget di restoran mahal, terus kabur gak bayar!
Lalu, karena si Amy ini adalah seorang expert di bidang media digital, yang sangat terobsesi dengan data, dia mulai memperlakukan profil-profil di online dating sebagai suatu database. Jadi, si Amy bikin kriteria sebenarnya pasangan yang dia mau kayak apa, yang kemudian dijadiin 72 data points, dan dikembangkan menjadi suatu scoring system. Selain itu, Amy juga ngelakuin market research untuk tahu profil cewek kayak apa sih yang lebih menarik para cowok.
Baca juga: Follow Your Stomach!
Akhirnya, dari usaha gilanya ini, karena Amy udah tahu semua rumus online dating, profilnya jadi profil terpopuler di situs online dating tersebut, yang berhasil ngedapetin lebih dari 1200 ajakan dating!
Tapi pun, setelah menggunakan scoring system yang dibuatnya untuk nge-filter 1200-an profil ini, gak ada yang dia mau pacarin, karena gak memenuhi kriterianya (ceritanya si Amy ini cukup picky), sampe akhirnya setelah sabar menanti, dia nemu satu profil cowok yang beneran perfect: kelihatan pinter dan suka traveling. Dan di first date, mereka langsung click banget, sampe ngobrol 14 jam lamanya. Cowok ini pun akhirnya beneran jadi suami Amy dan mereka punya anak perempuan sekarang *happily ever after*
Jadi? Poinnya?
Poinnya bukan berarti untuk dapet jodoh lo terus harus coba online dating juga, bukan.
Poinnya adalah, kayak kata Amy:
“Well, as it turns out, there is an algorithm for love. It’s just not the ones that we’re being presented with online. In fact, it’s something that you write yourself. So whether you’re looking for a husband or a wife or you’re trying to find your passion or you’re trying to start a business, all you have to really do is figure out your own framework and play by your own rules, and feel free to be as picky as you want.”
Judul tulisan ini emang agak misleading sih. Masa depan relationship bukanlah online dating ataupun online dating yang di-hack.
Masa depan relationship adalah, dengan adanya berbagai tool yang membantu lo kepo dan mengevaluasi setiap potential mate, you’re free to be as picky as you want!
Dan gak cuma dalam hal jodoh. Dalam mencari pekerjaan atau passion yang pas, atau lo coba bikin startup sendiri, lo bebas jadi se-picky apapun. Don’t compromise, walaupun udah desperate banget. Bikin suatu framework, kayak yang Amy lakukan: kriterianya apa, scoring system-nya gimana. Jadiin itu basis. Play by your own rules, dan suatu saat lo bakal ketemu yang bener-bener cocok (mau itu jodoh, pekerjaan, atau bisnis).
Good luck and may you find love in a hopeful place.
Header image credit: huffpost.com