“Let us rediscover the pursuit of happiness, and let us start at home.” – Sheryl Sandberg
Dulu waktu kecil, kalau ditanya siapa idola wanita panutan kita, sebagian besar jawabannya tidak lain dan tidak bukan adalah Mama. Mungkin alasannya karena ga tau idola mana lagi yang bisa menjadi jawaban yang rasional. Atau emang kita bisa melihat Mama kita sendiri yang bisa kerja, ngurus keluarga, ngurus rumah, stay in shape, be social, and get 8 hours of sleep at night. Bener?
Seorang Mama yang seperti itu emang super human banget. Kebayang nggak, ABG cewek yang baru dikasih setumpuk tugas sama dosen aja udah galau setengah mati dan nyerah pengen nikah aja. Apalagi Mama kita yang punya multiperan di dunianya, plus budaya kerja sekarang ini yang apa-apa dituntut serba bisa, yang intinya women have to be extremely talented and possess super human time management skills.
Pertanyaannya, apa kita harus jadi super human untuk mendapatkan semuanya tanpa mengesampingkan yang lain, supaya kita bisa jadi women that can have it all?
Sayangnya memang belum banyak kebijakan yang mendukung working women untuk menyeimbangkan work dan life-nya. Banyak working women yang ingin punya work-life balance dihadapi dilema dalam dunia kerjanya, karena takut dianggap kurang profesional, seandainya mereka meninggalkan pekerjaannya lebih awal untuk ngurus pekerjaan rumah yang selama ini ditinggal. Bahkan COO Facebook Sheryl Sandberg ngaku kalau dia nyesel pernah gak ikut dinner bareng keluarganya, tapi gak berani ngakuin secara terbuka alasan dia meninggalkan acara itu.
Dalam artikel Why Women Still Can’t Have It All (at the Same Time) yang ditulis Anne-Marie Slaughter, dia berpendapat kalau ada budaya kerja yang harus diubah supaya lebih banyak working women yang bisa have it all tanpa perlu jadi super human.
Baca juga: Mencapai Persamaan Gender = Mengubah Budaya
First, Eliminasi “The Time Macho”
Anne-Marie Slaughter bilang wanita sebenernya bisa have it all tapi gak di situasi sekarang.
“But not today, not with the way America’s economy and society are currently structured,” tutur Slaughter.
Emangnya, ada apa dengan budaya kerja sekarang (gak cuma di Amerika, tapi juga di Indonesia yang orientasi working culture-nya berklibat ke Amerika)? Time Macho. Semakin lama dan kerasnya lo bekerja, semakin gede rewards yang lo dapet. Memang bagus buat ningkatin self-esteem lo, tapi apa iya selamanya hidup lo buat ngejar rewards mulu? Ketika lo berharap kerja 14 jam dalam sehari, produktivitas kerja lo makin lama makin menurun.
“My assumption that I would stay late made me much less efficient over the course of the day than I might have been, and certainly less so than some of my colleagues, who managed to get the same amount of work done and go home at a decent hour,” tambah Slaughter.
Solusinya? Ya, harus menghapuskan adanya Time Macho dengan mengurangi budaya office face-time dan mendefinisikan ulang arti kerja keras, yang sebenarnya gak tercermin dari berapa lama lo ada di kantor.
Mengubah budaya itu emang susah. Apalagi budaya yang udah mengakar. Susahnya kayak mengubah budaya senioritas. Satu kata, susah. Kayak dalam masyarakat sekitar aja nih. Masih banyak yang berasumsi kalau seharusnya kita mulai bekerja saat usia kita menginjak 20-30an, mencapai puncak karir di usia 40-50an, dan istirahat untuk karir di akhir 50-60an. Padahal kalau untuk wanita, seharusnya terdapat jeda bagi mereka untuk mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan keluarganya.
“At one time, a successful professional was someone who could climb the furthest in the shortest time. But women who have children should think about the path upwards as made up of irregular stair steps,” kata Slaughter.
Baca juga: Trivia: Mendorong Budaya Inovasi
Second, Revaluing Family Value
Slaughter menantang semua orang buat melepas persepsi negatif buat working women yang izin pulang duluan karena keperluan keluarga. What kind of society doesn’t let us say “I have to go to a parent-teacher meeting”? Berani jujur ke atasan emang susah. Dikiranya cuma alesan buat ninggalin pekerjaan. Tapi ada quote dari Carolyn Anderson yang bilang begini:
“In attempting to having it all, never forget that if we don’t have love, joy, peace, tranquility and an ability to be truly present in our lives that we don’t have it all anyway. We really don’t have anything.”
Gue pikir artikel yang ditulis Slaughter ini cukup bener dan budaya kerja kita yang selama ini memberikan stereotipe sendiri ke working women harus dibenahi agar nantinya kita (sebagai penerus Mama kita) yang bukan super human ini tetap bisa have it all, seimbang antara work dan life-nya. Untuk sekarang, women memang can have it all tapi sayangnya gak dalam waktu bersamaan.
Mari sama-sama berdoa biar beberapa tahun dari sekarang, women can really have it all at the same time.
Baca juga: Trivia: Persentase Perempuan CEO di Dunia
Header image credit: startupstockphotos.com