Fenomena batu akik adalah contoh sebuah euforia di mana kita terbawa arus membeli sesuatu secara berjamaah yang sering kali… tidak rasional.
Sepertinya selain gemar menonton drama haru biru dalam sinetron, orang Indonesia ternyata juga gemar mengonsumsi mitos atau hal-hal yang berbau tidak rasional.
Contoh, fenomena batu akik.
Virus batu akik kini menyebar bagaikan “flu burung” yang cepat menular kemana saja. Menteri, eksekutif, dosen, supir, bahkan mahasiswa. Desas-desusnya sih batu itu punya daya magis besar. Let’s say, mengundang rezeki, menambah kharisma dan mengubah nasib. Bahkan mereka (re: para pemburu batu akik) rela merogoh kocek cukup dalam untuk mendapatkan corak dan ragam yang langka, seperti corak macan dan api.
Coba aja ketikkan “batu akik” di Google, berbagai artikel terkait fenomena ini kebanyakan ga masuk akal. Ada orang yang bisa menawar satu cincin batu akik sampai 5 miliar, hanya karena motifnya mirip Nyi Roro Kidul! Penjualnya sih ngakunya, ini motif asli dari alam, ga dilukis ataupun dipahat oleh si yang punya batu.
Baca juga: Jangan Asal Nurut Orangtua
Kalau kata psikologi keuangan, fenomena batu akik ini biasa disebut dengan “ekonomi gelembung” yang artinya suatu gejala ketika kita semua tenggelam dalam antusiasme yang lebay atau Irrational Exuberance. Analoginya kayak balon yang terisi udara yang makin lama makin membesar kemudian pecah dan tidak berisi apa-apa, kosong.
Irrational exuberance ini menurut Robert Shiller, salah seorang Profesor di Yale University, adalah sebuah euforia di mana kita terbawa arus membeli sesuatu secara berjamaah yang sering kali… tidak rasional.
Semua Kembali ke Pola Pikir
Lalu apa sumber permasalahan dari “ketidakrasionalan” ini? Ya balik lagi, akar masalahnya terletak pada masih kurang kritisnya pola pikir kita terhadap informasi yang kita terima, tanpa menguji kebenarannya.
Kenapa kita harus berpikir kritis? Jawabannya adalah untuk membebaskan kita dari mitos yang mengekang cara berpikir kita. Kenapa kita harus terbebas? Ya biar ga mudah dimanipulasi oleh rumor, ga mudah terpancing emosi, percaya takhayul, terbawa arus dan dogmatik.
Mungkin banyak yang berpikir, ya udah sih, itu kan orang-orang kurang berpendidikan dan ndeso aja yang percaya begituan. Nyatanya, yang termakan kehebatan batu akik ini beraneka ragam mulai dari mahasiswa sampai polisi!
Baca juga: Anak Bangsa Jadi Tukang di Negeri Orang, Kenapa Bangga?
Lalu, apa berpikir kritis itu seperti anugerah yang turun dari Tuhan kepada aktivis, politikus atau tukang debat? Terus buat kita yang bukan aktivis, politikus, atau tukang debat mesti ngebiarin diri terjebak dalam irasionalitas yang berjamaah ini?
Kebanyakan mikir banget, ya. Padahal, yang penting agar bisa berpikir kritis, hanyalah: harus kepo! Dan bukan cuman ngepoin sebatas gejala-gejala yang timbul di permukaan aja, tapi harus mendalam dan luas. Ya contohnya, ga puas hanya dengan penjelasan bahwa batu akik punya kekuatan magis karena datang dari alam, dan lain-lain, tapi menggali lebih dalam dengan terus bertanya kenapa. It’s not about being satisfied, it’s all about “staying hungry, staying foolish”.
Kesimpulannya, kalau kita manut-manut aja sama semua sumber informasi tanpa mengkritisinya, kita semua akan menganggap informasi tersebut itu benar adanya. Ya contohnya kayak batu akik yang bisa bawa bejo. Jangan langsung pikir, kalau kamulah yang menjadi nada sumbang karena nggak mengikuti perspektif (juga perilaku) mainstream, tetapi mereka yang berbondong-bondong menuju kebodohan masal.
Ngomong-ngomong, tetep jadi mau beli batu akik?
Baca juga: Fenomena: Budaya Inovasi dan Kreativitas
Header image credit: beritadaerah.co.id
Comments 1