Di akhir sesi pemutaran film independen, sutradara, pemain, dan tim produksi maju ke depan untuk tanya jawab dengan penonton yang hadir. Mereka dengan rendah hati meminta masukan dan tanggapan dari penonton, yang menikmati film yang mereka buat dan sajikan itu. Bedanya dengan gala premiere box office, pemain, produser, dan sutradara muncul di depan sebelum mulai, kasih speech panjang ucapan terima kasih tanpa interaksi. Penonton cuma bisa tepuk tangan, karena cuma itu yang mereka bisa lakukan.
Beberapa hari belakangan ini saya datang ke dua kali program pemutaran film. Sebagai seorang warga perkotaan yang seringkali tenggelam dalam kesibukan kerja, saya jadi haus akan hiburan, sekecil apapun.
Kesempatan pertama, saya hadir di sebuah pemutaran film independen, di sebuah teater kecil yang bergantung pada donasi dan dukungan segelintir orang yang mengapresiasi karya yang baik. Film yang diputar bisa dibilang bukan genre mainstream: satu film dokumenter, serta dua buah film pendek dengan topik yang tidak ringan namun dibuat dengan cermat.
Di kesempatan yang kedua, saya hadir di sebuah gala premiere dari sebuah film yang katanya box office material. Bukan cuma karena para pemainnya adalah aktor papan atas, atau sutradaranya salah satu yang cukup ternama, tetapi produksinya pun disokong modal yang luar biasa (nol nya lebih dari 9, katanya sih).
Pemutaran film independen yang sederhana itu diadakan di sebuah teater kecil yang kursinya tidak sampai 50, dan terisi tidak sampai setengahnya. Sementara gala premiere itu, diadakan di chain bioskop ternama, di dua studio sekaligus, yang masing-masing kapasitasnya sekitar 500 orang, dan dua-duanya penuh. Bahkan sampai diputar dua kali dalam semalam. Yang hadir di situ adalah selebritas papan atas, media, kritikus, sutradara, model, sampai penyanyi. Rakyat jelatanya bisa dihitung jari. Salah satunya ya saya dan beberapa teman yang ikutan datang.
Baca juga: Mengenal Pop Culture dan Cara Merayakannya
Selain pemutaran film, mereka juga menampilkan red carpet, panggung musik, sampai booth sponsor yang bagi-bagi produk gratisan. Di luar hingar-bingar itu, jujur saja, pemutaran filmnya biasa-biasa saja. Ceritanya so-so. Sedikit kecewa karena pelaksanaan acaranya agak berantakan. Tapi namanya dapat gratisan, jadi ya sudahlah.
Sementara di pemutaran film independen yang sepi itu, meskipun filmnya tidak terkenal, dan sama sekali tidak ada media yang hadir, saya mesti bayar tiket masuk. Harganya ngga jauh beda dengan tiket masuk bioskop standar. Istilah mereka sih donasi. Sumbangan atau bukan, saya ngga keberatan sama sekali bayar sekian rupiah untuk satu film dikali tiga. Hitung-hitung membantu biaya operasional mereka, dan harapannya supaya mereka bisa terus membuat program seperti ini berjalan. Pembuat film yang diputar di situ pun saya yakin tidak berharap dapat meraup untung dari pemutaran kecil semacam itu.
Karena saya sama sekali ngga tahu bakal dapat suguhan seperti apa, ekspektasi saya di awal biasa-biasa saja. Film pertama yang memotret kaum waria, serta film kedua dan ketiga yang menggambarkan perempuan dan representasi gender di masyarakat–bukan cuma miskin budget, tapi tekniknya pun tidak ada yang wah. Walaupun begitu saya keluar dengan tercerahkan, karena ceritanya yang kaya dan menyentuh, mengangkat topik tabu tanpa berkesan menggurui, sekaligus membuka percakapan dan mendorong wacana.
Baca juga: Keenan Pearce: Gaungkan Euforia Berkarya Melalui Jakarta Euphoria Project
Di akhir sesi, sutradara, pemain, dan tim produksi maju ke depan untuk tanya jawab dengan penonton yang hadir. Mereka dengan rendah hati meminta masukan dan tanggapan dari penonton, yang menikmati film yang mereka buat dan sajikan itu. Interaksi yang muncul begitu hangat dan tidak berjarak, seperti menjajal masakan buatan teman: kalau ada gosong dan hambar sedikit ya langsung dikomentari dan diberi saran gimana supaya lebih enak.
Bedanya dengan gala premiere box office itu, pemain, produser, dan sutradara muncul di depan sebelum mulai, kasih speech panjang ucapan terima kasih tanpa interaksi. Penonton cuma bisa tepuk tangan, karena cuma itu yang mereka bisa lakukan. Lagian mau tanya jawab gimana, filmnya aja belum ditonton kok. Paling banter minta foto bareng di luar studio, itu pun kalau penonton beruntung bisa mencegat pemain bintang di tengah kerumunan ratusan orang.
Perlakuan yang berbeda untuk karya yang hampir serupa ini membuat saya berpikir, apa sih tujuannya berkarya? Supaya diberi standing ovation, atau supaya bisa membuat perbedaan? Supaya dielu-elukan, atau supaya mendorong terciptanya manusia yang manusiawi?
Ngga ada salahnya sih bikin karya supaya dapat nama. Tapi jangan sampai berkarya hanya untuk dapat nama. Sekadar sanjungan dan pujian, lalu ngga peduli apakah karya yang dihasilkan bisa membawa nilai dan perubahan berarti.
Kalau saya sendiri, lebih memilih bikin karya yang bisa membuat orang lain berbuat lebih baik, bersikap lebih baik, dan menjadi lebih baik. Dan saya harap makin banyak orang di luar sana yang mengapresiasi upaya dan tindakan mereka yang berkarya untuk membuat perubahan, di bidang apapun.
Baca juga: Udah Bukan Zamannya Produk Indie Cepat Mati
Header image credit: lifeofpix.com