The only disability in life is a bad attitude. – Scott Hamilton
Saat sedang marak aksi demonstrasi dimana-mana, ingatan gue jadi kembali ke masa kampanye perseteruan sengit antara dua calon presiden yang saling bersaing merebut kursi paling panas di negeri ini. Apalagi saat-saat debat capres dimulai, semua orang dari berbagai kalangan excited menonton jagoannya berdebat di TV. Gue pun yang saat itu sedang menonton di warung makan terbawa atmosfer excitement mereka bagai sedang menonton World Cup.
Namun, ketika perdebatan berlangsung, gue bukannya fokus pada debatnya, tapi malah fokus ke tayangan kecil yang berada di sudut kiri bawah layar TV. Ada seseorang yang memeragakan setiap perkataan yang dilontarkan oleh peserta ataupun moderator debat dengan bahasa isyarat. Hal ini ga biasa bagi gue karena memang ga lazim ditampilkan di program-program televisi lain.
Dari situlah gue baru sadar kalau bantuan fasilitas untuk mendapatkan informasi bagi penyandang disabilitas masih sangat minim. Gimana enggak, giliran ada pencalonan Presiden yang membutuhkan dukungan suara se-Nusantara, baru deh disediakan penerjemah bahasa isyarat.
Baca juga: #ziliun17: Social Innovation Apps Indonesia
Menurut WHO, disabilitas nggak bisa dianggap sekadar masalah kesehatan. Disabilitas adalah fenomena kompleks, yang mencerminkan interaksi dari tubuh seseorang dengan masyarakat. Mengatasi kesulitan yang dialami orang yang mengalami disabilitas butuh intervensi yang bisa menghilangkan “pagar” dengan lingkungan dan kehidupan sosial yang dihadapinya.
Mereka punya kebutuhan yang sama atas kesehatan, dengan orang yang tidak mengalaminya–contohnya imunisasi, screening kanker, dan lain-lain. Mereka juga mungkin saja kesulitan menikmati kesehatan yang layak, bisa karena kemiskinan, ataupun pemisahan sosial. Bukti-bukti menunjukkan bahwa orang-orang dengan disabilitas harus menghadapi rintangan dalam mengakses layanan publik yang justru mereka butuhkan.
Nungguin pemerintah buat ngasih fasilitas? Capek. Daripada nunggu belas kasihan pemerintah (yang palingan jadi wacana belaka), mending mulai dari kita aja bikin something buat mereka. Apalagi perkembangan startup digital lagi anget-angetnya dan bisa ngerangkul semua umat. Kenapa nggak kita coba melihat perkembangan perkembangan startup digital sebagai momen yang tepat untuk menciptakan aplikasi atau website yang bisa menjadi katalis mereka.
Kedengeran gampang dan muluk-muluk banget ya gue ngomongnya? Lo kira gampang bikin yang kaya gitu?
Tapi, kalo gitu terus pertanyaannya masa udah keok duluan sama mindset sendiri. Sama aja dong ujung-ujungnya kaya pemerintah yang ga ngelakuin apa-apa.
Baca juga: 5 Inovasi Sosial yang Mengubah Dunia
Ada nih buktinya anak muda Indonesia yang bisa ngebuat platform Youtube yang lebih ramah untuk teman-teman kita, Youtube For The Blind. Youtube for The Blind adalah situs video yang memberikan narasi di setiap adegan diam. Ceritanya, Ramya Prajna Sahisnu, co-founder dari Think.Web, melihat kalo selama ini ternyata tuna netra juga suka menonton Youtube dengan menikmati audionya. Sementara kalo ada adegan tanpa dialog, mereka ga bisa mengerti kelanjutannya gimana.
Atau kalo di luar negeri ada Roger Voice, aplikasi chatting untuk para tuna rungu. Bedanya dengan yang lain, aplikasi ini bisa melakukan transkripsi perkataan jadi sebuah tulisan. Prinsipnya kayak voice search di smartphone, hanya saja digunakan untuk chatting dan pesannya langsung terkirim.
Kalau memang peduli dan punya kemampuan, boleh coba bikin startup untuk membantu penyandang disabilitas. Atau seminimal-minimalnya, kita bisa bantu menyebarkan informasi kepada mereka yang membutuhkan, kalau ternyata ada lho teknologi yang bisa menjadi jendela mereka melihat dunia. Yaa, daripada mengutuk dalam gelap, lebih baik menyalakan lilin, kan?
Baca juga: Kenapa Berburuk Sangka Pada Teknologi?
Header image credit: palmbeachpost.com
Comments 1