“Jadi kalau anak-anak masih diajarkan calistung, itu keliru. Harusnya belajar menggambar dulu, seni dulu.” – Dik Doank
Pukul 11 siang di hari Minggu lalu, saya sampai di Sekolah Alam Kandank Jurank Doank tepat setelah Dik Doank selesai mengajar kelas menggambar rutin di alam terbuka. Namanya memang sekolah–dengan kelas-kelas seni seperti menggambar, perkusi, vokal, dan tari–tapi sebenarnya, Kandank Jurank Doank adalah sebuah komunitas.
Murid-murid yang belajar di sini bisa datang dan pergi tanpa dipungut biaya. Pengajarnya, selain Dik Doank, biasanya adalah mahasiswa, yang dengan sukarela merelakan waktu luangnya, walaupun bayarannya tidak seberapa. Walaupun ada kelas, di Kandank Jurank Doank tidak ada ruang-ruang kelas, layaknya sebuah permainan.
Obrolan saya dengan Dik Doank siang itu didahului dengan pertanyaan: apa itu Kandank Jurank Doank?
Belajar = Bermain
“Kandank Jurank Doank itu tempat main. Memainkan sebuah aktivitas yang dilakukan dengan sukacita, dengan passion, dengan gairah, dengan kecintaan, yang ujungnya kita tidak tahu bakal menjadi baik atau buruk. Tapi, dengan orangtua yang baik, guru yang baik, lingkungan yang baik, maka ujung permainan itu nanti jadi akan kebaikan.”
Dik Doank melanjutkan, “Bukankah Messi juga main? Main apa dia? Main bola. Karena dia main bola, orang jadi belajar bola. Jadi siapa bilang main itu tidak belajar?”
Baca juga: How Schools Kill Creativity
Selama obrolan tersebut, Dik Doank kerap mengelaborasi jawabannya dengan filosofi dan cerita.
“Waktu kecil, seorang anak lagi main petak umpet, Ibunya bilang ‘Nak, jangan main petak umpet, nanti ada Kolong Wewe’. Lalu dia belajar dan dia jadi pinter. Ketika besar, karena masa bermainnya dirampas, maka waktu jadi orang besar dia korupsi, ngumpetin duit orang. Kan sama, main petak umpet juga? Jadi orang-orang yang suka korupsi itu, jarang main dan gak bahagia. Karena kamu harus inget, jangan kau cabut masa bermain anakmu dengan cepat, karena kau akan menemukan anakmu yang dewasa, tapi kekanak-kanakan.”
Mengajar = Belajar
Dua orang mahasiswa yang saat itu juga duduk bersama kami, bertanya kepada Dik Doank: Apa definisi anak-anak?
“Kita semua ini anak, gak ada bapak. Ketika seseorang memiliki anak, disebutlah dia bapak, atau ibu, untuk membedakan mana yang lebih muda dan lebih tua.”
Menurutnya, kesetaraan ini juga berlaku di pendidikan.
“Seyogyanya juga sama, tidak ada yang namanya guru, semuanya murid. Karena ada yang mau belajar, disebutlah dia murid, dan yang mengajar guru. Kalau orang mengatakan saya bapak, saya guru, maka mereka berhenti belajar, merasa semua-semuanya lebih berpengalaman. Itu cuma soal definisi-definisi hidup aja, padahal kita semua tuh anak. Aku gak mau terkunci pada sudut-sudut pandang. Bagiku aku cuma butuh belajar. Tapi tadi aku ngajar, kelihatannya, padahal aku lagi belajar dari anak-anak.”
Baca juga: Sokola Rimba, Dedikasi Butet Manurung Belajar Bersama Anak-Anak Rimba
Esensi Belajar = Cinta dan Keindahan
Sebelum obrolan itu diakhiri, saya bertanya: apa output dari pendidikan sebenarnya?
Jawaban Dik Doank: “Ilmunya bermanfaat bagi dirinya, ilmunya bermanfaat juga bagi masyarakat. Pendidikan yang baik bukan yang mendidik anak menjadi cerdas atau cum laude, bukan yang tujuannya nilai. Di Kandank Jurank Doank tidak ada nilai. Kandank Jurank Doank bukan yang terbaik, tapi aku mengerti esensi.”
Esensi apa yang dimaksud?
“Kalau tidak punya hati, hati-hati tidak bisa mengajarkan esensi ke anak-anak. Seperti orangtua-orangtua sekarang, tidak bisa menanamkan cinta. Cinta itu membebaskan dalam arti yang positif, cinta itu tidak membebani, cinta itu mengasihi. Cinta itu kelak akan mengeluarkan kesaktiannya: tidak pernah mengenal rasa lelah.”
Baca juga: Masih Berpikir Kalo Pinter Matematika itu Cerdas?
Dik Doank melanjutkan, “Kalau saya bisa menjadi Menteri Pendidikan dan saya akan bangun perguruan tinggi jurusan Ibu Rumah Tangga. Tugasnya cuma dua: menyiapkan anaknya di hari depan, dan menyiapkan kebutuhan suaminya sepanjang hari. Tugasnya cuma dua, tapi kerjanya 24 jam. Lalu, 24 jam, gak ada perguruan tingginya. Makanya yang terjadi kayak begini. Ibu pertiwi sedang berduka, karena ibu-ibunya gak ngerti. Yang miskin gak sabar, yang kaya merasa paling hebat. Kamu bayangin, apa yang kamu pelajari?”
“Jadi kalau tadi saya dilihat oleh kamu, belajar menggambar, itu karena Tuhan Maha Mencipta, tapi nama Tuhan itu ada gak yang Maha Menghitung? Ada, urutan 40. Maha Mencipta, itu urutan 11. Jadi kalau anak-anak masih diajarkan calistung, itu keliru. Harusnya belajar menggambar dulu, seni dulu. Seni itu keindahan. Tua mana agama dengan seni? Senilah! Kalau anak-anak diajarkan seni, diajarkan keindahan, dia gak akan buang sampah sembarangan.”
Header image credit: vimeo.com