Brain drain: emigration of intelligent, well-educated individuals to somewhere for better pay or conditions, causing the place they came from to lose those skilled people, or “brains.”
Kita sering mendengar “good news” tentang anak-anak Indonesia yang berprestasi di luar negeri, dari berbagai profesi. Misalnya, animator-animator yang kerja di Pixar atau studio Hollywood lainnya, dan peneliti Indonesia yang jadi profesor di luar negeri. Media-media mainstream pun membanggakan “prestasi” anak bangsa ini, yang bisa mendapat pengakuan di negeri orang. Para penonton atau pembaca ikut bangga dan mengelu-elukan.
And I was thinking, what’s wrong with these people? Bukannya sedih bahwa tenaga kerja kita yang punya potensi dan talenta “diambil” negara lain, malahan senang karena anak bangsa jadi “tukang” di negeri orang.
Ini adalah fenomena yang namanya brain drain, di mana penduduk yang berpendidikan–biasanya dokter, ilmuwan, insinyur, dan sejenisnya–pindah ke luar negeri untuk kondisi atau bayaran yang lebih baik. Dari dulu sampai sekarang, fenomena brain drain ini ada aja terjadi. Contohnya, gara-gara krisis ekonomi di Yunani beberapa waktu lalu, ratusan ribu penduduknya mencari hidup yang lebih baik di negara seperti Jerman dan Inggris. Lalu, penduduk India dan China, terutama pekerja IT, sejak dulu banyak yang bermigrasi ke Amerika Serikat untuk kehidupan yang lebih baik.
Baca juga: Industri Dalam Negeri, Riwayatmu Kini
Apa penyebab dari brain drain? Setidaknya ada tiga. Pertama, kondisi sosial ekonomi yang memang sedang buruk, seperti Yunani, atau misalnya sedang ada konflik. Kedua, belum mature-nya suatu bidang atau industri. Misalnya, seorang ilmuwan yang ingin mendalami robotics sadar kalau di Indonesia ilmu perobotan belum terlalu berkembang, sehingga dia “hijrah” ke Jepang untuk belajar dan mengimplementasikan ilmunya.
Terakhir–yang menurut gue paling parah–adalah ga dihargainya suatu profesi atau bidang di negara tersebut.
And yeah, we’re talking about our own country. Negara yang naturally adalah the perfect place to live ini (the food, the hospitality, the weather) ternyata sering belum sanggup mempertahankan talenta-talenta yang potensial untuk tetap stay dan berkontribusi di negaranya. Banyak orang kita yang kuliah di luar negeri dan ga mau pulang. Yang talented lalu kemudian pulang pun akhirnya menjadi tidak kontributif karena kurang apresiasi.
Baca juga: Berguru pada Pemilik Dagadu
Jangan berpikir kalau ini cuma masalah gaji yang lebih tinggi. Banyak orang yang mau mengorbankan kesempatan mendapat uang lebih banyak supaya bisa tinggal di tanah kelahiran sendiri. Tapi, yang paling mengesalkan adalah saat kurang dihargai. Animator dan pekerja kreatif, misalnya, kerap dianggap pekerja serabutan. Pekerja IT, masih sering disalahartikan sebagai teknisi. Yang parah, ya akademisi dan peneliti. Ada yang bilang kalau bahkan pemerintah menetapkan gaji peneliti lebih rendah dari pengajar sekolah dasar.
Inilah kondisi negeri kita, di mana cendekiawan ga dihargai. Yang dielu-elukan adalah mereka yang tampil di acara komedi, yang eksis di social media setiap hari. Orang-orang ini dianggap thought leader, influencer. Yang beneran mengkaji, hanya dilihat sebagai orang-orang culun yang ga asik.
Mungkin angka brain drain di Indonesia saat ini belum sebesar India dan China. Tapi, dengan masuknya kita ke Masyarakat Ekonomi ASEAN sebentar lagi, bakal ada kompetisi tenaga kerja gila-gilaan. Sebelum kita kehilangan lebih banyak orang pinter, udah saatnya pemerintah serius (like reaaally serious!) mikirin solusi untuk mengubah brain drain jadi brain gain.
Baca juga: Mengapresiasi Komik Lokal Lewat Kosasih Award
Header image credit: huffpost.com
Comments 1