Mendirikan startup bukan hanya perkara punya ide cemerlang, ada modal, atau punya engineer yang mampu merealisasikan ide menjadi produk keren dan bagus saja, namun ada faktor penting yang banyak luput disadari para founder startup sedari awal, yaitu Unfair Advantage Startup.
Dalam menciptakan startup dibutuhkan aspek yang satu ini supaya mereka bisa berkembang dengan sangat cepat dan tidak dapat dengan mudah ditiru oleh pesaing mereka di market yang sama (punya entry barrier yang tinggi). Hal ini juga membuat mereka bisa unggul sangat jauh dibandingkan dengan solusi yang ada di market atau kondisi status quo saat ini. Hampir semua startup yang saat ini sudah besar bahkan menjadi perusahaan dengan nilai milyaran dollar bisa kita identifikasi apa unfair advantage dari startup mereka.
Uber, Grab, Lyft, Gojek dan startup ride sourcing lainnya (saya lebih memilih menggunakan term ini dibanding ride sharing) bisa melesat dan besar dengan sangat cepat karena mereka punya unfair advantage dibandingkan dengan industri transportasi konvensional. Unfair advantage ini yang kemarin menjadi salah satu keluhan saudara-saudara kita yang bergerak di jasa transportasi publik konvensional yang mengajukan protes bahwa perusahaan ride sourcing macam Uber dan Grab yang dinilai tidak bersaing secara fair dengan mereka.
Baca juga: Mengenal Lebih Dalam tentang Venture Capital
Seperti kita ketahui bersama perusahaan taksi dan penyedia angkutan umum konvensional harus bayar pajak kendaraan umum, membeli kendaraan, melakukan perawatan, pengayaan kapasitas kepada para pengemudi, manajemen sistem yang besar dan sebagainya. Sementara Uber, Grab, dan penyedia jasa ride sourcing lainnya mereka punya unfair advantage menawarkan solusi yang secara substansi sama namun hampir tidak perlu melakukan semua hal tersebut, plus skalabilitas pertambahan armada dan pesanan yang sangat tinggi.
Saya tidak ingin masuk ke perdebatan mana yang paling benar atau mana yang salah. Apalagi saya melihat keduanya sama-sama membuka lapangan pekerjaan yang signifikan untuk masyarakat. Adanya startup ride sourcing tidak dapat kita pungkiri, ribuan orang bisa punya pekerjaan dengan kendaraan pribadinya, dan masih bisa terus bertambah signifikan dari waktu ke waktu. Namun tidak dapat kita nafikan bahwa ratusan ribu orang juga telah menggantungkan hidupnya dalam industri transportasi umum konvensional.
Setidaknya keriuhan yang terjadi saat ini, bisa mulai dikurangi ketegangannya dengan adanya kejelasan peraturan atau payung hukum yang menaungi startup model ride sourcing ini dalam beroperasi. Kalau di California sebenarnya startup ride sourcing ini sudah dinaungi oleh payung hukum, mereka dikategorikan sebagai Transportation Network Company (TNC), dengan serangkaian hak serta kewajiban yang melekat kepadanya. Ada kewajiban pajak (dihitung dari tiap gross profit TNC per 3 bulan), asuransi pengemudi dan pengguna, pelatihan pengemudi, dan sebagainya sebagaimana penyedia jasa transportasi umum lainnya. Minimal dengan adanya kejelasan koridor, baik startup ride sourcing maupun penyedia transportasi umum konvensional, mereka bisa beroperasi dalam koridornya masing-masing dan saling memperbaiki nilai tambah di mana mereka unggul dari waktu ke waktu.
Baca juga: Bagaimana Menjaga Semangat Tim Kita?
Kembali soal bahasan unfair advantage, di dalam program inkubasi startup yang saat ini saya ikuti, juga ada beberapa startup yang sudah mulai menunjukkan mereka punya unfair advantage untuk segera lepas landas.
Teman sebelah kiri meja saya dari Brazil, mereka membuat startup yang dengan mempergunakan solusinya membuat perusahaan tahu faktor apa yang paling berpengaruh bagi customer mereka dalam membeli produk perusahaan tersebut, entah harga, relationship, social status, atau lainnya. Mereka mengklaim punya formula yang bisa memberikan insight lebih baik dibandingkan metode customer survey konvensional lainnya seperti net promoter score. Namun bukan formula itu sebenarnya unfair advantage mereka, tapi kerja sama mereka dengan perusahaan konsultan besar seperti PWC yang bersedia mendistribusikan produk mereka ke cabang-cabang PWC di 40 negara di dunia. Jadi meskipun mereka belum launching secara publik, namun sudah menunjukkan bahwa mereka punya unfair advantage dibanding yang solusi sejenis lainnya.
Lain lagi teman sebelah kanan meja saya dari India, mereka membuat startup yang menghubungkan pelajar dari seluruh dunia dengan 10 ribu lebih expert pendidikan di India (minimal bergelar master) untuk mengadakan forum tanya jawab. Mereka punya unfair advantage yang tidak dapat ditandingi solusi sejenis karena mereka sudah punya puluhan juta konten hasil dari pertanyaan dan jawaban yang ada di platform mereka. Dengan kuantitas dan juga kualitas sebaik itu, mereka tidak perlu mengeluarkan biaya marketing karena secara SEO mereka sudah sangat baik di mesin pencarian seperti Google, hampir zero customer acquisition cost. Unfair advantage-nya adalah mereka adalah first player di industri pendidikan online, lumayan sudah lama berjalan, dan telah mampu memproduksi sangat banyak konten. Salah satu keunggulan menjadi first player adalah kita sudah punya posisi dan brand yang kuat disaat market sudah mulai memahami produk kita dan ramai meminati layanan kita saat dimana kompetitor lainnya baru memulai bergerak menjamah market.
Contoh lain unfair advantage adalah Network Effect. Sama seperti Facebook dan startup yang diakusisinya, Whatsapp dan Instagram, sudah sangat sulit ditandingi oleh social media yang baru muncul karena mereka telah punya milyaran pengguna dan konten di dalamnya. Untuk meninggalkan dan pindah ke platform yang lain adalah pilihan yang tidak mudah karena mereka sudah punya social capital dan aset digital di dalamnya. Itulah kenapa salah satu matriks yang diincar oleh para startup social media adalah sebarapa tinggi retensi seseorang menggunakan social media mereka, baik untuk posting status, gambar, video, atau menambah jejaring di sana. Semakin sering dan banyak jejak digital yang dibuat, maka akan semakin tinggi nilai dari social media tersebut bagi pengguna.
Baca juga: Menjadi Full Time Entrepreneur, Bukan Full Time Fundraiser
Jadi dapat kita lihat ada berbagai macam unfair advantage yang bisa kita ciptakan untuk startup kita. Kalau kita bisa membuat produk dengan kualitas sama atau bahkan lebih baik dengan bahan baku jauh lebih murah sehingga mampu menjualnya dengan harga jauh lebih murah, maka itu adalah unfair advantage dari aspek harga yang tidak mampu disaingi oleh kompetitor lainnya tanpa harus mengorbankan bisnis kita.
Kalau kita punya cofounder seorang expert di bidang tertentu yang sangat diakui kredibilitas dan kapasitasnya, ditambah punya network yang luas. Maka startup kita punya unfair advantage dalam bidang talent yang akan mempermudah masuk ke pasar dan mendapatkan pengakuan karena kredibilitasnya.
Kalau kita punya modal uang cash dengan sangat banyak untuk membesarkan startup kita, baik untuk marketing, hiring, atau pengembangan produk, maka itu adalah unfair advantage dalam aspek capital, bahkan mungkin bisa mengakusisi startup-startup lain yang berpotensi jadi kompetitor ke depannya kelak seperti yang dilakukan oleh Google atau Facebook.
Tentunya semua unfair advantage yang saya maksudnya di sini adalah yang legal dan benar, jangan sampai kita punya unfair advantage tapi sifatnya negatif seperti kecurangan, ketidakjujuran, pemalsuan, atau penyelundupan. Masing-masing dari diri kita adalah pribadi yang spesial, dan ketika kita bisa mengoptimalisasi hal spesial tersebut untuk startup kita, itu akan menjadi unfair advantage untuk startup kita.
Baca juga: Spiraling Technology Sickness
Artikel ini ditulis oleh Andreas Senjaya, dan sebelumnya dipublikasikan di blog pribadi Jay
Comments 1