“Itu pilihan kita kok, kita ingin dikenal sebagai apa? Jualan hasil? Jadi tukang, atau jualan konsep?” – Anto Motulz
Setelah minggu lalu kita ngobrol-ngobrol dengan Faza Meonk di #ZiliunQA, malam tadi (17/06) giliran Ziliun ngobrol bareng Anto Motulz a.k.a @motulz! Siapa sangka sih, Mas Motulz ini punya banget segudang aktivitas, mulai dari menjadi seorang creative director, comic artist, illustrator, komikus, juga pengajar. Belakangan ini Mas Motulz lagi sibuk sketching, nulis blog, sama bikin ilustrasi buat buku lho!
Anto Motulz terbilang bukan orang baru di industri komik. Ia mulai masuk industri ini di era 1990-an. Kapten Bandung menjadi salah satu karyanya yang cukup terkenal. Mas Motulz merasakan beberapa perbedaan ketika membuat komik jaman dulu dan sekarang. Tentunya, selain saat ini banyak sekali kemudahan referensi dalam membuat komik, media dan medium juga punya pilihan yang jauh lebih banyak. Dari situ anak-anak muda kita jadi punya lebih banyak pilihan untuk terjun di industri ini, talent-nya pun kini juga makin banyak bukan?
Baca juga: Kreativitas Bukan Barang Eksklusif
Dalam tulisannya “Salah Kaprah Ekonomi Kreatif Indonesia”, Mas Motulz bilang kalau Indonesia nggak cuman butuh pekerja kreatif, tapi juga butuh tukang hitung kreatif. Tukang hitung kreatif ini sih katanya nggak sulit dicari. Mereka yang jadi produser musik, film, atau iklan termasuk dalam kategori tukang hitung kreatif. Kalo di bidang seni, ada yang namanya kolektor dan kurator.
Menurut Mas Motulz, buat jadi seorang tukang hitung kreatif nggak butuh pendidikan khusus, intinya sih mereka yang bisa berhitung bisnis udah cukup. Hanya saja, kali ini, konteksnya mereka akan bergerak di bidang industri kreatif.
Selain itu, di tulisannya yang lain, Mas Motulz juga bilang kalo pekerja kreatif kita itu kurang kolaborasi. Kolaborasi yang dimaksud adalah kolaborasi dengan berbagai macam profesi. Ya kali, kalo komikus kolaborasi sama komikus mah udah biasa. Kalo komikus kolaborasi sama animator terus komiknya dituangkan dalam bentuk animasi, luar biasa?
Baca juga: Wajib Ngerti: Bedanya Paten, Merek, dan Hak Cipta
Di Indonesia, bukan karena budaya orang kita yang malu-malu untuk memulai kolaborasi, tapi menurut Mas Motulz ini karena kebiasaan saja. Katanya, nyoba kolaborasi sama pihak lain kita bakal bisa nemu pengalaman dan nilai-nilai baru deh. Apalagi kalo kolaborasinya sama pihak asing, nah lho!
Lalu, selain dengan kolaborasi, what does it take supaya ekosistem industri kreatif kita bisa besar dan matang? Kata Mas Motulz sih begini,
1) Butuh banyak kesadaran dari praktisi kreatif untuk membangun ekonomi kreatif tersebut. Jangan nunggu pemerintah atau lembaga apa pun.
2) Butuh kesadaran kolaborasi, baik bidang yang sama-sama kreatif maupun yang bukan. Misalnya kayak bidang ekonomi, hukum dan sebagainya.
“Itu pilihan kita kok, kita ingin dikenal sebagai apa? Jualan hasil? Jadi tukang, atau jualan konsep? Atau malah jualan proses? Kan ini beda-beda,” kata Anto Motulz ketika ditanya bagaimana pekerja kreatif bisa lebih bisa dihargai dan nggak dianggap sebagai tukang.
Baca juga: Pekerja Kreatif, Jangan Kerja Sendiri Dong!
Header image credit: trusted.net