Saya sering tersenyum dengan berbagai ironi kehidupan. Beberapa teman yang berpotensi memiliki masa depan sangat baik, memilih untuk bercerita tentang ‘keterbatasan’ dan menikmati hidup dengan ambisi yang lebih perlahan. Namun, di sisi lain ada beberapa orang yang ‘terbatas’ justru memaksakan untuk meraih sesuatu bagaikan pungguk merindukan rembulan.
Tulisan ini tidak bermaksud satire atau sarkas, tapi beginilah hidup.
Saya selalu percaya bahwa di Indonesia, institusi pendidikan sebagian besar tidak lebih hanya bekerja sebagai pabrik yang menciptakan sekumpulan orang bersertifikat. Sayangnya, sertifikat sama sekali ngga berarti kalau manusianya sendiri tidak memiliki kemampuan yang mumpuni di bidang tersebut. Bayangin aja, sarjana informatika ngga bisa bikin website, anak bisnis yang ngga pernah bisa bikin bisnis, anak jurusan public relations kayak saya yang ngga punya relasi banyak, sarjana marketing yang gak bisa menjual produk atau anak sastra Inggris yang bahasa Inggris-nya masih belum fasih. Menurut saya, orang-orang kaya gitu ngga lebih dari sekadar… SARJANA GAGAL.
Saya memegang gelar diploma dari kampus nomor satu di negeri ini, kemudian saya melanjutkan sarjana ke sebuah kampus kecil. Honestly, rasanya bagaikan langit dan bumi. Tapi jujur, kuliah di tempat sekarang membuat saya menyadari bahwa kampus itu sangatlah berarti, karena di situlah ekosistem pendidikan tempat pola pikir kita ditempa untuk pertama kali. Tapi saya ngga sependapat kalau dosen adalah satu-satunya tempat menuntut ilmu. Sebagai penganut paham liberal, saya percaya maju tidaknya diri saya ditentukan oleh seberapa besar usaha saya untuk mendapatkan yang terbaik untuk diri saya sendiri.
Baca juga: Hoax dan Otak yang Tak Terpakai
Saya sekarang sangat tidak bisa mentolerir kalau ada mahasiswa yang bilang “abis dosennya males ngajar” atau “tugasnya ngga jelas banget”. Mereka bahkan sepertinya ngga memahami bahwa dosen di situ perannya hanyalah sebagai fasilitator pendidikan. Mahasiswa kita harus berjuang sendiri buat bisa belajar apapun yang mereka mau, mereka harus kerja lebih keras dong kalau tau dosennya ngga sepinter ekspektasi mereka. Logika simpelnya, gimana mungkin dosen bodoh menghasilkan mahasiswa pinter? So, solusinya, kita harus belajar lebih keras biar bisa punya pengetahuan yang lebih luas.
It is our own mental attitude which makes the world what it is for us. Our thoughts make things beautiful, our thoughts make things ugly. The whole world is in our mind. Learn to see things in the proper light.
Saya selalu yakin bahwa bila seseorang menginginkan sesuatu dengan sangat bersungguh-sungguh, maka seluruh dunia akan berkonspirasi untuk menciptakan hal itu terjadi. Saat membaca tulisan ini, saya ingin bercerita tentang pendapat saya bahwa Tuhan sangat tidak suka dengan orang yang mengkerdilkan serta membatasi diri. Saya selalu ingin menantang berbagai batas, mencobai apakah batasan itu nyata atau hanya sebuah ketakutan semu yang kita buat secara asumtif.
Baca juga: Tipe Anak Muda Indonesia yang Nggak Bakal Berhasil
Gimanapun kampusnya, yang paling penting tuh mahasiswa kita harus belajar untuk ngga hidup sebagai medioker. Harus punya mental kompetitif biar bisa lulus dengan baik dan siap menghadapi kerasnya persaingan global, bukan malah minta perlindungan dari pemerintah dengan bertamengkan ‘perlindungan terhadap warga lokal’. Bukannya sekarang ada banyak banget hal yang bisa dipelajari secara mandiri via internet, Youtube misalnya?
Bila sempat membaca tulisan ini, saya ingin semua orang bisa terus berlari mengejar mimpi mereka. Jangan bercerita tentang batas atau berkata “ngga mungkin” terlalu cepat. Karena beberapa hal, harus dicoba dulu baru kita tau bisa berhasil atau tidak. Don’t be a mediocre and don’t let mediocrity controls your mind.
Baca juga: How Collaboration Leads to Great Ideas
Image credit: themaclive.net
Comments 2