Salah satu tantangan paling sulit dalam menjalankan sebuah startup adalah berhadapan dengan kondisi finansial yang tidak seleluasa di perusahaan-perusahaan besar. Sudah tidak leluasa, prediksi finansialpun kadang sulit dilakukan dengan akurat karena bisnis model sebuah startup masih dalam tahap validasi. Sehingga bukan menjadi hal yang aneh ketika sebuah startup tutup karena kehabisan uang. Kehabisan uang merupakan penyebab kegagalan startup kedua paling banyak menurut CBInsight. Memang bukan merupakan penyebab nomer 1, tapi sudah cukup untuk menjadi momok bagi para founder startup.
Kehabisan uang bukan hanya tentang tidak adanya uang di rekening kita saja, karena startup yang sudah mendapatkan pendanaan sekalipun tetap punya peluang besar untuk kehabisan uang dan gagal. Setidaknya dalam 3 tahun terakhir, ada 7 ribu startup di US yang mendapatkan pendanaan, baik dari angel investor maunpun dari venture capitalist, tapi hanya 10% dari jumlah tersebut yang bisa tetap bertahan dan melanjutkan perjalanan. Jadi, ini juga tentang bagaimana kita mengatur manajemen keuangan di dalam startup kita.
Baca juga: Mengenal Lebih Dalam tentang Venture Capital
Salah satu mentor yang sudah punya banyak sekali pengalaman di dunia entrepreneurship di program akselerasi yang sedang saya ikuti, Mike Sigal, memberikan 5 tips penting bagi para founder startup untuk mengelola keuangannya dengan baik sehingga tidak kehabisan uang dalam perjalanan.
Know Your Milestone
Saat kita menawarkan startup kita untuk diinvestasi, baik oleh angel investor maupun kepada I, ada banyak sekali resiko yang harus dibagi dengan investor kita, beberapa resiko yang harus kita jadikan sebagai target milestone untuk ditangani antara lain:
- Apakah startup kita punya tim dengan kapasitas, pengalaman, dan network yang mencukupi untuk membesarkan startup kita?
- Apakah tim kita punya stabilitas yang baik dan komitmen yang kuat, jangan sampai setelah beberapa bulan dapat investor, lalu kehabisan semangat juang dan meninggalkan startupnya.
- Apakah startup kita menyasar market yang besar dan layak untuk disoroti?
- Apakah produk yang dihasilkan oleh startup kita baik dari sisi kualitas maupun konsep dasarnya?
- Apakah produk kita bisa membuktikan bahwa ia bisa mencapai kondisi produk market fit (produk yang tervalidasi diinginkan pasar)?
- Apakah startup kita punya entry barrier yang tinggi (tidak mudah ditiru)?
- Apakah startup kita dapat menarik banyak user atau customer?
- Ketika startup kita telah menarik banyak customer, apakah customer ingin membayar untuk produk kita?
- Lalu apakah uang yang diberikan customer dapat menimbulkan profit untuk perusahaan?
Ketika satu persatu milestone diatas sudah bisa divalidasi, maka resiko startup kita akan semakin kecil. Semakin tinggi stage pendanaan (seed stage, serie A, serie B, dll) maka akan semakin kecil juga resiko yang harus ditanggung investor untuk keberlanjutan startup kita
Baca juga: Bagaimana Menjaga Semangat Tim Kita?
Dan ternyata, semakin tahun semakin tinggi tuntutan bagi seorang founder untuk milestone sebuah startup. Misalnya, tahun 2004 dulu orang bisa dapat pendanaan pre stage hanya dengan proposal bisnis dan pendanaan seed stage dengan prototype produk, namun tahun 2015 seorang founder harus punya minimal MVP (minimum viable product) untuk bisa dapat pre stage funding dan harus sudah punya traction untuk dapat seed stage funding.
Kenali apa milestone untuk startup kita yang ingin kita capai dalam kurun waktu tertentu, lalu capailah hal tersebut selagi kita masih memiliki cukup uang untuk membiayai startup kita.
Track Your Performance
Setelah kita menetapkan apa milestone yang ingin kita tuju, tentukan satu orang yang accountable di dalam hal itu, Ia yang bertanggung jawab untuk memantau matriks perusahaan kita.
Memiliki orang dengan peran seperti itu akan membuat kita lebih termonitor dan tidak menjalani bisnis mengalir saja tanpa acuan dan ukuran kualitas yang jelas.
Jika kita belum punya satu orang yang memantau keuangan dan matriks milestone perusahaan kita, ada beberapa startup yang menyediakan layanan ini, misalnya expensify, freshbooks, quickbooks, atau xero. Kita juga bisa menggunakan spreadsheet gratis dari Google, sepertinya itu sudah cukup untuk kita memantau semua hal tersebut sepanjang perjalanan.
Monitor Your Zero Cash Date
Zero cash date adalah waktu dimana dimana kita kehabisan uang (run out of cash) dengan kondisi burn rate kita saat ini. Untuk yang belum tahu, Burn rate itu sendiri adalah selisih dari pengeluaran operasional kita sehari-hari dengan pendapatan kita. Ketika kita masih “membakar” uang untuk menghidupi startup kita, maka kita masih punya angka burn rate. Startup yang sudah profitable (pendapatan melebihi pengeluaran) otomatis sudah tidak punya burn rate.
Jika kita masih punya burn rate maka selalu akan ada waktu dimana kita kehabisan uang karena uang yang kita miliki terus tergerus oleh pengeluaran kita sehari-hari.
Burn rate terbesar biasanya disebabkan oleh biaya mengakusisi customer/marketing (CAC), maka kita harus selalu bisa seksama untuk menghitung CAC, jangan sampai CAC ini melebih nilai yang dibawa oleh 1 orang customer (CLTV), perbandingan yang baik adalah CAC:CLTV = 1:5.
Mengetahui prediksi titik dimana kita akan kehabisan uang akan membuat kita selalu aware tentang sejauh apa startup kita punya nafas untuk bertumbuh sebelum modal kita habis (runaway). Best practise-nya minimal milikilah 18 hingga 20 bulan runaway supaya kita memiliki waktu cukup untuk memvalidasi bisnis model startup kita sebelum kehabisan modal.
Baca juga: Menjadi Full Time Entrepreneur, Bukan Full Time Fundraiser
Control Your Burn
Hal ini adalah tentang mengendalikan pengeluaran kita. Ini akan berpengaruh kepada seberapa lama runaway startup kita. Jika runaway startup kita semakin lama maka akan semakin tinggi leverage kita di hadapan calon partner, karyawan, ataupun investor, karena kita masih punya nafas yang panjang dalam menjalani bisnis kita.
Beberapa cara untuk mengontrol burn rate kita :
- Get a bookkeper– gunakan spreadsheet dan catat secara berkala dan disiplin penggunaan uang kita.
- Hire slowly, berhati-hatilah sebelum merekrut karyawan baru, selain karena sangat painful untuk memberhentikan seseorang, kehadiran karyawan baru haruslah bisa dipastikan menambah value signifikan untuk perkembangan startup kita. Airbnb saja merekrut karyawan pertamanya setelah mendapatkan investasi baru 4 bulan setelah di-invest, jangan sampai kita terburu memperbanyak tim kita tanpa perhitungan yang matang.
- Limit nonessentials expenditure, jangan terlalu tergoda untuk mengeluarkan uang pada hal-hal yang tidak esensial pada milestone terdekat yang sedang kita tuju saat ini. Hal-hal seperti punya kantor dan fasilitasnya yang bagus, makan siang gratis, beli beragam peralatan untuk kantor, dan lain sebagainya harusnya benar-benar kita pertimbangkan.
- Run smaller experiments ketika kita sudah bisa tau milestone per bulan kita, maka akan lebih mudah merencanakan dan mengeksekusi experimen-experimen kecil untuk mencapai milestone tersebut, sehingga jika kita gagal tidak terlanjur sudah mengeluarkan modal dan waktu terlalu besar.
- Lower salaries.
- Cut staff.
Namun perlu diingat, jika tujuan kita mencari investasi adalah untuk membuat startup kita terus bertahan hidup dan bukan untuk mengakselerasi growth-nya, maka leverage kita akan semakin kecil. Dan banyak founder yang terlalu menganggap enteng aktivitas fundraising dengan asumsi bahwa semua masalah kehabisan uang selalu bisa diatasi dengan fundraising, padahal kondisi seperti ini adalah hal yang sangat jelek untuk dijadikan strategi. Tulisan Paul Graham tentang fatal pitch yang menceritakan soal ini sangat relevan dalam konteks ini.
Semoga tips-tips di atas dapat membantu kita menjadi seorang founder startup yang lebih baik, minimal mengurangi kans kita gagal karena kehabisan uang di tengah perjalanan.
Baca juga: Mengapa Pengembangan Produk Startup Sering Kali Gagal Menghasilkan Growth?
Artikel ini ditulis oleh Andreas Senjaya, dan sebelumnya dipublikasikan di blog pribadi Jay.
Image header credit: picjumbo.com
Comments 1