Siapa nih yang kerjanya di bidang sains, teknologi, engineering, dan matematika (STEM)? Sadar enggak sih, kalau jumlah perempuan yang bekerja di bidang STEM enggak sebanding dengan jumlah cowok. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), perempuan dalam tingkat partisipasi kerja hanya mencapai kurang dari 17 persen, dan hanya 30 persen dari jumlah itu yang bekerja di bidang STEM.
Hmm… sebenernya, apa sih yang jadi masalah sesungguhnya dari fakta di atas? Kenapa sih representasi perempuan itu penting? Penelitian menunjukkan, keberagaman dalam sebuah tim dapat menghasilkan output yang lebih baik. Individu dari berbagai gender, ras, dan latar belakang pengalaman dapat membawa perbedaan perspektif dan membawa ke solusi yang inovatif. Namun sayangnya, keberagaman ini belum menjadi nilai penting dan strategi perusahaan agar tim mencapai hasil yang terbaik
Putri Izzati, Managing Partner Simona Ventures menjelaskan, dunia yang kita hadapi punya banyak masalah; kemiskinan, climate change, dan enggak bisa diselesaikan oleh satu orang aja. Kita butuh banyak orang yang untuk kolaborasi menyelesaikan masalah itu termasuk insight dari perempuan. Namun sampai sekarang, banyak masalah yang selalu ada dan enggak terselesaikan karena sedikitnya perempuan yang dilibatkan.
Baca juga: “Simona: Program Akselerator Untuk Wanita Pertama Se-Asia Pasifik“
“Karena rata-rata orang di dunia STEM ini naro perempuan dalam ranah domestik. Harusnya kita memberikan kesempatan ke semua orang termasuk perempuan untuk menyelesaikan masalah,” ujar Putri di panel diskusi Techsauce Global Summit, Bangkok, Juni 2019.
Tapi sayangnya, di Asia enggak banyak cerita tentang kesuksesan perempuan di dunia bisnis yang bisa jadi role model. Menurut Monthinda McCoole, Board Member dari Female Founder
“It’s hard to break the glass ceiling when not enough people are pushing the agenda,” kata Monthinda.
Co-Founder Avana, Yienyee Soh bercerita, banyak yang punya persepsi kalau founders wanita itu bergerak di bidang tertentu aja, misalnya kecantikan. Padahal hal itu enggak benar. Bias gender lainnya yang ia rasakan adalah ketika meeting. Ia merasa ketika meeting perhatian lebih banyak pada laki-laki dibandingkan perempuan karena anggapan kalau bos itu selalu cowok. “Kita harus buat perempuan-perempuan yang menjadi founders itu stand up. Kita harus jelasin peran kita misalnya ‘nama, CEO dari mana’ gitu” kata Yienyee.
Baca juga: SEA 8: Tokoh Wanita Favorit di Asia Tenggara Menurut Fablysa, Techsauce, dan Ziliun
Ada dua cara yang disarankan Senior Program Lead APAC dari Google for Startups, Yoonmin Cho untuk mengatasi masalah kesenjangan gender di ranah STEM. Pertama, berikan perempuan kesempatan, misalnya melalui program-program yang diinisiasi oleh Simona Ventures atau berbagai inkubator startup, maupun Demo Day yang berfokus pada perempuan. Juga dari pemerintah untuk memberikan fleksibilitas, misalnya fleksibilitas waktu bagi perempuan berkarir untuk merawat anaknya. Cara yang kedua adalah menyebarkan kesadaran akan masalah ini. Nah, sebelum menyebarkannya, kita sendiri juga harus ubah pola pikir dan budaya yang menghambat kesetaraan gender.
Hal yang enggak kalah penting, untuk perempuan yang ingin menjadi eksekutor startup adalah, temukan seseorang yang dapat mendukung usaha kita, alias mentor untuk memberikan petunjuk agar dapat menyelesaikan masalah ke depan. Lalu, kelilingi diri kita dengan orang-orang yang punya pemikiran yang terbuka (open minded person). Ketika kita terhubung dengan female founder lainnya, maka kita bisa saling berbagi tantangan yang dihadapi dan bisa mengatasi masalah yang muncul.
Jadi, sekarang udah paham dong kenapa kesenjangan gender adalah masalah yang penting? Yuk kita saling dukung agar semakin banyak perspektif dalam mencari solusi yang inovatif!