Pada jaman dahulu kala, sekitar tahun 2000an nge-band itu adalah kegiatan yang sangat trendy dan kekinian. Kalau mau terlihat keren maka baiknya kamu tergabung dalam band. Band lokal di Indonesia juga sedang booming (era Sheila on 7, Rif, PAS, Gigi, Slank dll), jadi tidak heran nge-band merupakan suatu keharusan bagi saya, selain untuk mengisi waktu luang karena pada saat itu saya belum tergerus oleh derasnya arus informasi seperti sekarang ini.
Saya dan 3 teman lain membentuk sebuah band beraliran melodic pop-punk ala Blink 182, Rufio, New Found Glory dan sejenisnya. Sempat sering manggung di komunitas punk dan sempat merilis mini album (literally mini) yang hanya didistribusikan dari teman ke teman yang lain.
Kalau dikilas balik, waktu dan uang yang kami “buang” untuk band ini sudah sangat banyak. Belum lagi drama internal dan tekanan untuk menjadikan band ini lebih serius. Hingga pada puncaknya, kami memutuskan untuk tidak melanjutkan band ini lagi karena alasan “perut” dan prioritas kami sudah berbeda.
Sekarang saya menjalani Digital Product Agency bernama Weekend, Inc. yang sudah memasuki tahun ke 4 (tepat di Juni 2016 ini). Dan saya menemukan apa yang saya alami selama nge-band tersebut memiliki sedikit banyak kemiripan.
Baca juga: Menjadi Full Time Entrepreneur, Bukan Full Time Fundraiser
1. Berawal dari suka aliran musik yang sama
Ya, kami berempat suka Blink 182, hal inilah yang mempertemukan dan membuat kami ingin nge-band bersama. Ketika ada satu kesukaan yang sama maka kita sebagai makhluk sosial cenderung lebih mudah berbaur dan merasa mempunyai satu tujuan yang sama.
Sama halnya dengan bisnis dan perusahaan. Semua di awali dengan kesukaan terhadap hal yang sama, entah itu teknologinya, masalah yang harus dipecahkan, idenya atau industrinya. Saya dan partner bisnis saya menyukai startup, teknologi dan seni membuat produk digital. Kalau bicara dan berdiskusi tentang ketiga hal tersebut pasti tidak ada habisnya, mulai dari ide, eksekusi, bisnis model, cara melayani pelanggan / klien dan hidup matinya sebuah produk digital. Hal tersebut lama kelamaan bermanifestasi menjadi visi dan misi perusahaan. Itulah yang membuat kami terus bertahan dan berkembang.
2. Pembagian role yang jelas sesuai dengan talenta masing-masing
Biasanya setelah mendengar lagu band favorit maka kami akan mulai membagi role, siapa di posisi drum, gitar, bass dan vokal untuk bisa meng-cover lagu tersebut. Setiap role akan latihan sendiri di rumah sesuai dengan kesukaan dan talenta pribadi. Proses ini biasanya menumbuhkan talenta yang terpendam menjadi skill yang kelihatan.
Penting ketika memulai dan menjalani bisnis untuk sadar akan kekuatan dan kelemahan masing-masing founder. Dan yang paling penting sesama founder harus bisa saling menerima kekurangan dan memanfaatkan kekuatan yang ada. Saya dan partner bisnis kebetulan mempunyai skill dan talenta yang saling melengkapi. Saya berkontribusi di bagian creative dan partner saya di bagian teknologi, sehingga menjadi lengkap otak kanan dan otak kiri.
Dengan begitu bagian yang tajam akan makin terasah dan yang tumpul akan menjadi pegangan yang tepat sesuai dengan situasi dan kondisi.
Tujuan dari permainan role yang berbeda adalah untuk menghasilkan harmoni yang enak didengar sebagai sebuah lagu. Kata “company” juga mengandung arti kumpulan, persekutuan, aliansi yang terdiri dari banyak manusia tetapi mempunyai visi dan misi yang sama.
Baca juga: Mau Jadi Apapun Kita Harus Punya Mindset Entrepreneur!
3. Sering latihan & ngumpul bareng
Bagian ini adalah yang paling penting ketika nge-band. Kalau tidak latihan, jangan harap bisa tampil bagus dan tidak canggung. Biasanya kami latihan 1–2 kali seminggu. Setelah latihan pasti ada ngobrol dan saling tukar pikiran. Kegiatan ini secara tidak langsung melibatkan komunikasi yang pada akhirnya membuat kami saling mengenal satu sama lain. Kami jadi tahu gaya permainan musik dan karakter masing-masing. Ya, kami menjadi lebih dekat.
Berada didalam projek yang sama dan berkontribusi terhadap projek tersebut sesuai dengan skill serta kekuatan pribadi akan menimbulkan efek yang sama seperti nge-band di atas. Menghadapi tantangan bersama, otomatis membutuhkan komunikasi yang lancar sehingga projek tersebut dapat selesai dengan efektif dan efisien.
Kunci dari manajemen projek adalah komunikasi, baik itu antar tim, dengan klien dan dengan stakeholder.
4. Percaya dengan anggota band yang lain ketika manggung
Berada di atas panggung membutuhkan kepercayaan diri yang tinggi dan mempercayai teman band kita kalau mereka juga akan perform dengan sebaik mungkin sesuai dengan apa yang sudah kita latih bersama.
Dalam perusahaan, ini terjadi ketika ada delegasi tugas dan tanggung jawab.
Saya percaya bahwa perusahaan yang sehat adalah perusahaan yang berisi orang yang sangat percaya pada diri sendiri dan dipercaya oleh atasan maupun koleganya untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab mereka. Kesalahan dan resiko pasti ada, yang penting kita cepat belajar dari kesalahan tersebut.
Kalau tidak pernah coba, mana mungkin pernah tahu hasilnya?
Baca juga: Semua Orang Itu Entrepreneur, Sampai Revolusi Industri Menyerang
5. Saling ngasih feedback setelah manggung
Setelah keringat dingin dan kram perut selesai, selama perjalanan pulang kami saling mengomentari penampilan kami (biasanya dengan bercanda), terkadang kami juga mengomentari event tersebut. Semua kami lakukan tanpa basa basi dan tetap berpikiran terbuka. Itu semua bisa terjadi karena kami percaya komentar dan kritik yang diberikan adalah untuk meningkatkan kualitas manggung kami berikutnya.
Sama halnya dengan perusahaan, feedback sangat penting. Baik itu ke bawah dan ke atas. Yang tidak kalah pentingnya adalah kita harus punya pola pikir positif dan tahu cara memberikan feedback yang baik. Peningkatan kualitas selalu diikuti dengan feedback yang membangun dan membekas di memori sehingga akan diingat dan dilakukan (bukan sekedar angin lalu saja).
Komplain tidak ada gunanya tanpa ide, solusi dan aksi.
6. Nikmati perjalanannya
Tujuh tahun nge-band lalu tidak jadi sesuatu, apakah saya kecewa? Tentu pernah. Tapi setelah dipikir dan diingat lagi, saya tidak sepenuhnya kecewa, karena saya belajar banyak hal tentang berdiri dan melakukan sesuatu di depan orang banyak. Membuat suatu konsep abstrak dalam pikiran menjadi sebuah lagu. Belajar tentang arah dan hidup band tersebut (yang walaupun pupus tapi diskusi tentang visi sempat ada). Hal tersebut saya syukuri hingga saat ini.
Bisnis dan perusahaan juga mempunyai dinamika yang sama. Selama kita bisa melihat hal positif dan hal yang bisa kita pelajari, maka naik turun (secara emosional dan materi) yang terjadi dalam bisnis dapat kita tangani dengan baik. Walaupun yah, tidak mudah.
Pada akhirnya, yang paling penting adalah goal dan perjalanan itu sendiri.Nikmati, resapi dan hadapi.
Baca juga: Entrepreneur: Jangan Cuman Fokus pada Bisnis yang Sukses
Artikel ini ditulis oleh Richard Fang, dan sebelumnya dipublikasikan di sini.