Sekarang rasanya udah umum banget orang memberikan label content creator kepada seseorang yang terkenal di sosial media. Tapi sebenernya apa sih makna menjadi content creator?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, gue mau tanya dulu. Siapa di sini yang aktif menggunakan Instagram? Coba kita cek, foto yang kita unggah dan apa respon dari followers kita? Mungkin ada yang memberikan komentar positif atau malah ada yang kurang suka dengan konten kita. Nah, secara enggak langsung, konten kita pun bisa memberi dampak kepada audiens.
Seperti yang Amanda Valani, Head of Content di Narasi TV bilang di hari pertama festival Senyawa+, 2 November 2019. “Konten di media sosial bisa membuka ruang diskusi antar personal,” ujar Amanda. Jadi kita pun adalah content creator dan tentu saja punya tanggung jawab.
Dengan adanya media sosial, semua bisa menjadi media. Kita juga jadi punya audiens yang bisa aja terpengaruh oleh konten yang kita bagikan. Kebayang nggak tuh, ketika lo posting makan mie instan di malam hari terus diunggah di Instagram Story, ada berapa orang yang jadi pengen dan akhirnya ikutan makan mie instan?
Hal itu jadi bikin gue mikir, seandainya konten-konten yang kita bagikan adalah konten yang bisa kasih dampak positif. Walaupun kedengarannya susah, apalagi ketika kita merasa belum jadi ‘apa-apa’. Mana berani sok inspiratif.
Ok gue paham, tapi insight dari Amanda mungkin bisa jadi pertimbangan. Menurut Amanda konten yang berdampak itu enggak ribet-ribet kok, setidaknya berdampak ke diri sendiri dulu. Di Narasi sendiri, Amanda bercerita ada dua hal yang perlu dipegang oleh setiap konten kreatornya yaitu value dan konsistensi berkarya.
Walaupun banyak media yang menjadikan tren sebagai acuan dalam berkarya, menurut Amanda, jika kita mau membuat konten yang berdampak, tentu kita harus berfokus pada value terlebih dahulu.
“Konten baik itu multak, konten bagus itu relatif, konten viral itu bonus,” tutur Amanda.
Angga Susangga, Head of Brand Communication Narasi TV juga mengatakan hal yang serupa. Menurut Angga, konten yang baik itu adalah konten yang bisa membuka disusi tentang vallue yang ingin kita sampaikan. “Buat konten yang sepersonal mungkin dan se-relate mungkin,” kata Angga.
Salah satu kreator konten Narasi, Laras Ayu Sahita punya cerita soal konten yang ia buat. Laras yang aktif di Instagram ini pernah membuat konten soal cara makan bubur yang berbeda-beda. Ia membawa isu keberagaman dengan cara yang sederhana yaitu menghargai perbedaan cara makan bubur, diaduk atau tidak. “Karena apapun cara makannya, kita tetap bisa makan bubur bareng-bareng kan. Beda pilihan tujuan tetap sama,” ujar Laras.
Konten yang diangkat Laras memang sederhana, tapi telah memenuhi syarat dari yang Sangga sampaikan, yaitu personal dan relate. Dari diskusi ini gue mendapatkan satu pelajaran dan reminder penting bahwa jurnalisme bukan sebatas profesi melainkan sebuah value. Jadi menurut gue, dengan adanya sosial media, semua adalah kreator konten, semua butuh value, dan semua orang bisa memberi dampak pada sekitar. Tinggal berani memulai aja, hehe.